Pengembangan Sains dalam Islam

Islam adalah agama kemaslahatan hidup bagi umat manusia. Mulai dari perbaikan akhlak, cara beribadah, hingga upaya menjalani kehidupan di dunia ini sebagai bekal di akhirat nanti.

Tak ada yang meragukan itu. Islam laksana cahaya yang senantiasa menyinari umat manusia. Ia akan memberikan pencerahan dan kemudahan hidup. Tak heran, bila Islam selalu dikaitkan dengan kegemilangan dan kejayaan.

Sepanjang sejarahnya, Islam telah hadir dengan beragam ilmu pengetahuan dan melahirkan ribuan intelektual Muslim. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan, memudahkan manusia dalam membangun peradaban dunia.

Bahkan, pada abad ke-6 hingga 14 Masehi, Islam mengalami masa kejayaannya (The Golden Age of Islam). Saat itu, sejumlah intelektual Muslim berhasil mewujudkan karya-karya mereka dengan bersumber dari Alquran. Dan Islam pun identik dengan sains dan teknologi.

Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka, George Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang ini, Introduction to the History of Science.

''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Farabi, At-Thabari, Al-Biruni, Ibnu Sina, serta Umar Khayyam. Jika seorang mengatakan kepada anda bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan tersebut di atas. Mereka semua hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, yakni dari 750 hingga 1100 M.''

Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, disebutkan bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga landasan, yakni landasan agama, filsafat, dan kelembagaan.

Landasan agama
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran sendiri merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam Surah An-Nisa' ayat 82: ''Maka, apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.''

Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya dalam Surah Ar-Rum ayat 22, Al-Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190-191, Yunus ayat 5, dan Al-An'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun (mengapa tak kau pikirkan).

Landasan filsafat
Perintah menuntut ilmu dalam Alquran dan hadis tersebut mendorong kaum Muslimin pada abad-abad pertama Hijriyah untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Cina ke dalam bahasa Arab.

Kemudian oleh para filsuf Muslim, ilmu-ilmu itu diklasifikasikan secara sistematis. Klasifikasi ini yang menjadi dasar bagi para ilmuwan Muslim untuk mengembangkan sains, terutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya, yaitu matematika dan logika.

Filsuf Islam yang pertama, Al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M), mengklasifikasi ilmu menjadi lima, yaitu ilmu-ilmu bahasa, ilmu logika, ilmu-ilmu persiapan, ilmu-ilmu kealaman, dan ilmu-ilmu masyarakat.

Klasifikasi Al-Farabi ini diteruskan dan disempurnakan pada abad berikutnya oleh Ibnu Sina dalam Kitab Asy-Syifa dan oleh Ikhwan As-Safa dalam Ar-Rasa'il.

Penyempurnaan klasifikasi ini berpuncak pada klasifikasi Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam, yang dengan tegas membagi ilmu menjadi dua golongan besar, yaitu ilmu-ilmu 'aqli atau ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu naqli atau ilmu-ilmu tekstual.
Ilmu-ilmu 'aqli meliputi logika, fisika, metafisika, dan matematika. Adapun ilmu-ilmu naqli meliputi ilmu Alquran, hadis, fikih, kalam, tasawuf, dan ilmu-ilmu kebahasaan.

Sementara Al-Gazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M) memberikan empat macam klasifikasi ilmu berdasarkan berbagai kriteria. Berdasarkan praktiknya, ilmu dapat dibagi menjadi ilmu teoretis dan ilmu praktis.
Berdasarkan cara mendapatkannya, Al-Gazali membagi ilmu menjadi ilmu huduri yang didapat secara langsung dan ilmu husuli yang diperoleh melalui pancaindra.

Pengelompokan yang ketiga berdasarkan kaitannya dengan agama. Dia membedakan ilmu-ilmu syar'iyyah dan ilmu-ilmu 'aqliyyah. Klasifikasi Al-Ghazali yang terakhir berdasarkan hukumnya, yaitu ilmu-ilmu yang fardu ain dan ilmu-ilmu yang fardu kifayah. Berdasarkan klasifikasi Al-Gazali ini, sains bersifat husuli, 'aqliyyah, dan fardu kifayah.

Landasan kelembagaan
Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat di masa kejayaan Islam. Kemajuan pesat itu tidak terlepas dari keberadaan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan.

Lembaga ilmiah pertama didirikan oleh Khalifah Al-Ma'mun (813-833) di Baghdad, yaitu Baitul Hikmah. Lembaga kedua adalah Darul Hikmah, yang didirikan oleh penguasa Fatimiah di Kairo, Mesir, Al-Hakim, pada 1004 M.

Di Baghdad juga terdapat Al-Hamiyah, yang didirikan pada 1076 M oleh Nizam Al-Mulk, seorang menteri dari Persia. Pada 1243 M sekolah itu diperluas menjadi Madrasah Al-Muntasiriah yang dilengkapi dengan rumah sakit.

Di Suriah terdapat pula sekolah-sekolah sejenis, misalnya Ar-Rasyidah dan Al-Aminiah. Adapun di Mesir terdapat An-Nasiriyah dan As-Salahiyah. Sekolah-sekolah tinggi lainnya tersebar di Spanyol dan Asia Tengah.

Selain perpustakaan, observatorium merupakan pusat-pusat penelitian keilmuan Islam yang paling maju. Observatorium yang pertama adalah Syamasiah yang didirikan Khalifah Al-Ma'mun di Baghdad sekitar 829 M.

Pembangunan observatorium ini segera diikuti oleh pembangunan observatorium Al-Battani di Ar-Raqqah dan observatorium Abdurrahman As-Sufi di Syiraz. Pada abad-abad berikutnya, sejumlah penguasa membangun observatorium lebih banyak lagi, tersebar dari Spanyol di Barat hingga ke Asia Kecil di Timur.

Rumah-rumah sakit merupakan sarana pengembangan ilmu yang tak dapat diabaikan, terutama kedokteran dan farmasi. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam didirikan pada 707 M oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah di Damaskus.
Para penguasa berikutnya tak mau ketinggalan dalam pembangunan rumah sakit. Di Mesir didirikan Rumah Sakit Manshuri dan di Baghdad didirikan Rumah Sakit An-Nuri.

Perkembangan Ilmu Bumi dan Astronomi Islam
Agama Islam telah melahirkan banyak ilmu pengetahuan. Semuanya bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

Para intelektual dan cendekiawan Muslim senantiasa menggali ilmu pengetahuan dalam Islam. Hasilnya, sungguh mengagumkan. Berbagai karya mereka hingga kini telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat manusia di dunia ini.

Dan hasil karya mereka itu, sebagaimana dikutip dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, bukan hanya melalui buku-buku, tetapi bukti ilmiah dengan ragam karya yang menakjubkan. Mulai dari ilmu bumi, matematika, fisika, kimia, astronomi, tata surya, kedokteran, pertanian, hingga pertambangan.

Ilmu Bumi
Ilmuwan-ilmuwan Muslim tradisional sangat memerhatikan bumi dan segala isinya. Dalam tradisi Islam, ilmu bumi tak dapat dipisahkan dengan ilmu langit atau astronomi. Sementara dalam dunia modern, khazanah ilmu tentang bumi terpecah menjadi beberapa disiplin ilmu, yaitu geografi, geologi, dan geofisika meteorologi.

Ahli ilmu bumi pertama dalam sejarah Islam adalah Hisyam Al-Kalibi, yang termasyhur pada awal abad ke-9, khususnya dalam studinya yang mendalam mengenai kawasan Arab. Rintisannya diikuti oleh beberapa ahli ilmu bumi lainnya, di antaranya Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang membuat peta globe (dunia) pertama.

Pada abad yang sama, seorang filsuf besar Islam, Al-Kindi, menulis sebuah buku berjudul Keterangan tentang Bagian Bumi yang Berpenghuni, dan Al-Ya'qubi yang menulis Buku tentang Negeri-negeri, yang terkenal karena studi topografisnya.

Nama lainnya adalah Al-Biruni dengan karyanya, Al-Atar al-Baqiyah fi Qanun Al-Khaliyah, yang membahas tentang sejarah dan geografi zaman dahulu. Kemudian, Ibnu Sina dengan karyanya, Asy-Syifa', yang membahas tentang terbentuknya batu-batuan, gunung, gempa bumi, dan gunung berapi, serta fosil-fosil hewan laut yang ada di daratan yang jauh dari pantai.

Pada abad ke-12, seorang ahli geografi terkenal, Al-Idrisi, menyusun sebuah risalah geografi yang diberi judul Kitab Nazhah Al-Muslak fi Ikhtira' Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala).

Selanjutnya, muncul Ibnu Galib di Granada, Spanyol (Andalusia), yang menulis geografi dan sejarah Spanyol. Lalu, ada Qutubuddin Asy-Syirazi (1236-1311) dan Yaqut Ar-Rumi (1179-1229) yang menulis Peta Laut Putih (Laut Tengah) dan Mu'jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow me